Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Uni Eropa melabelkan sawit sebagai komoditas yang menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan. Label ini menimbang sawit adalah sumber penghilangan hutan alam lewat penebangan (deforestasi) dan alih fungsi lahan.
Karenanya, UE merekomendasikan agar penggunaan sawit untuk bahan kendaraan bermotor dihapus. Dalam rancangan undang-undang baru, Komisi UE menargetkan porsi energi terbarukan menjadi 32 persen pada 2030 mendatang. Persoalan ini telah diangkat UE sejak rancangan kebijakan Renewable Energy Directives II (RED II).
Masalah muncul karena produk sawit Indonesia bejibun dan menjadi penopang ekspor. Hal serupa juga dialami sawit Malaysia. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah membenarkan ancaman penghapusan sawit dalam bahan bakar terhadap kinerja ekspor RI.
Tengoklah, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melansir, ekspor sawit dan produk turunannya mencapai 4,78 juta ton CPO pada 2018 lalu. Jumlah itu menurun 4,78 persen dibandingkan volume ekspor tahun sebelumnya, sebesar 5,02 juta ton.
Sementara itu, UE merupakan tujuan ekspor sawit terbesar kedua mencapai 14,67 persen dari total ekspor sebesar 32,02 juta ton. Dengan melabelkan sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan, tidak tertutup kemungkinan ada tekanan pada volume ekspor sawit ke UE.
"Kalau sentimen negatif terus didengungkan, penurunannya bisa lebih besar hingga dua kali," kata Rusli kepada CNNIndonesia.com.
Rusli menilai penghapusan biofuel di Benua Biru akan menjadi sebuah keniscayaan, apalagi mereka tengah mengembangkan mobil listrik. Untuk mendukung industri mobil listrik, Rusli meyakini pemerintah UE bakal secara perlahan menghapuskan penggunaan biofuel. Itu berarti, pasar sawit Indonesia di UE memang mulai terancam.
Sebagai respons kondisi ini, ia menyarankan agar pemerintah mengembangkan produk ekspor ke UE melalui pasar non-biofuel. Pemerintah juga perlu mendorong perluasan produk hilirisasi sawit dalam negeri, sehingga ekspor turunannya lebih maksimal.
Selain itu, solusi menjaga ekspor sawit dan turunannya di tengah serangan UE adalah ekspansi pasar nonkonvesional. Beberapa pasar yang potensial menurut Rusli adalah negara-negara di Afrika.
"Indonesia belum memiliki banyak pabrik dan teknologi untuk produk hilir. Jadi ada hal pararel yang harus dilakukan pemerintah, pertama melobi untuk pasar nonbiofuel dan mencari pasar potensial, seperti Afrika," katanya.
Upaya lainnya, ia mendorong pemerintah membawa putusan UE lewat jalur hukum kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Parlemen UE memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan menerima atau menolak keputusan tersebut. Dalam kurun waktu itu, pemerintah harus bersiap diri dengan segala kemungkinan.
Pengamat Pangan dan Pertanian Institute Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurthi mengamini pernyataan Rusli. Ia menuturkan proses pembahasan, diplomasi dan kemungkinan menuntut kebijakan UE perlu dilanjutkan.
"Langkah-langkah ini harus dilakukan dengan cerdas, sistematis, dan melihat ke depan," terang Bayu.
Sejalan dengan itu, Indonesia juga harus bisa memastikan bahwa industri sawit Indonesia memang berkelanjutan (sustainable), sehingga tidak sesuai dengan tuduhan UE. Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa industri kelapa sawit memenuhi dan berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Selain itu, pemerintah juga perlu memberdayakan kriteria Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) secara maksimal untuk menegaskan posisi sawit Indonesia.
Ia juga sepakat bahwa pemerintah perlu mengembangkan pasar nonbiofuel. Sebab, pengembangan otomotif UE serta negara maju lainnya, seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) lebih mengarah ke mobil listrik atau hybrid.
Dengan demikian, dalam jangka menengah sekitar 10-15 tahun mendatang penggunaan bahan bakar mobil memang diperkirakan akan berkurang.
"Jadi ada dua konsekuensi, kita harus dorong biofuel sawit untuk penggunaan non otomotif dan harus cari produk baru untuk memanfaatkan minyak sawit," tukasnya.
Sumber : cnnindonesia.com